DEPOK – Polisi menetapkan dua mata elang atau debt collector berinisial DDJ dan DN sebagai tersangka kasus penarikan paksa motor milik pengemudi ojek online, HZ (31), di kawasan Beji, Kota Depok. Kasat Reskrim Polres Metro Depok, Kompol Made Gede Oka Utama, menjelaskan bahwa keduanya melakukan aksi dengan cara mengintai, menghadang, hingga memaksa korban menandatangani surat di sebuah ruko sebelum kendaraannya diserahkan.
Menurut Made, meski korban memang memiliki tunggakan, cara yang dilakukan kedua pelaku tetap tidak bisa dibenarkan. “Apa pun alasannya, caranya tidak dibenarkan, karena tidak sesuai peraturan perundang-undangan,” tegasnya, Selasa (19/8/2025). Kasus ini kembali memunculkan pertanyaan soal aturan hukum penarikan kendaraan yang masih dalam masa kredit.
Secara hukum, penarikan kendaraan kredit berkaitan erat dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Dalam aturan tersebut, fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan benda berdasarkan kepercayaan, sementara barangnya tetap dikuasai oleh debitur. Artinya, motor atau mobil yang dibeli secara leasing memang bisa digunakan pemilik, tetapi status kepemilikan masih menjadi jaminan perusahaan pembiayaan hingga cicilan lunas.
Agar sah secara hukum, eksekusi kendaraan dengan jaminan fidusia harus memenuhi sejumlah syarat. Pertama, perusahaan pembiayaan wajib mendaftarkan perjanjian fidusia ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Hal ini ditegaskan dalam Peraturan Menteri Keuangan No.130/2012 dan POJK No.29/2014. Tanpa sertifikat jaminan fidusia, penarikan motor oleh leasing atau debt collector dianggap ilegal.
Kedua, eksekusi kendaraan tidak boleh dilakukan sepihak. Putusan Mahkamah Konstitusi No.18/PUU-XVII/2019 menyatakan bahwa wanprestasi atau tunggakan cicilan tidak bisa diputuskan sepihak oleh kreditur. Harus ada kesepakatan terlebih dahulu dengan debitur. Jika kesepakatan gagal, eksekusi hanya bisa dilakukan melalui pengadilan.
Ketiga, terkait penjualan barang hasil eksekusi, prosedurnya harus jelas. Penjualan bisa dilakukan lewat lelang atau penjualan di bawah tangan dengan syarat adanya pemberitahuan tertulis minimal satu bulan sebelumnya, serta diumumkan di dua media cetak. Aturan ini dimaksudkan untuk melindungi hak-hak debitur agar tidak dirugikan secara sepihak.
Selain itu, aturan juga menegaskan siapa yang berhak melakukan penarikan kendaraan. Berdasarkan POJK No.30/POJK.05/2014, debt collector wajib bernaung di badan hukum resmi yang bekerja sama dengan perusahaan pembiayaan, memiliki izin dari instansi terkait, memegang sertifikat profesi dari PT Sertifikasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia, serta membawa surat tugas resmi saat melakukan penarikan.
Apabila syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi, aksi debt collector dianggap melanggar hukum. Polisi biasanya menjerat pelaku dengan Pasal 368 KUHP tentang pemerasan atau Pasal 365 KUHP tentang pencurian dengan kekerasan, jika dalam aksinya ada unsur intimidasi atau ancaman. Selain itu, mereka juga bisa dijerat UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, karena tindakan tersebut merugikan hak debitur sebagai konsumen jasa pembiayaan.