Sungai Penuh – Pengelolaan dana BUMDes Maju Bersama Desa Sumur Gedang kini memunculkan pertanyaan serius: masihkah lembaga ini dijalankan sesuai dengan semangat gotong royong dan asas kolektif sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa?
Dari laporan warga, dana BUMDes sebesar Rp134 juta yang bersumber dari Dana Desa tahun anggaran 2025 tidak sepenuhnya dikelola oleh pengurus BUMDes. Sebaliknya, sebagian besar dana tersebut sekitar Rp 81 juta dikabarkan masih berada di tangan Kepala Desa.
Jika ditambah dengan SILPA (sisa lebih perhitungan anggaran) BUMDes tahun 2023 sebesar Rp. 40 juta, maka total dana belum dikelola mencapai Rp. 121 juta.
Selain itu masyarakat juga menyorot lahan tempat kegiatan peternakan kambing usaha BUMDes berlangsung disebut-sebut merupakan tanah pribadi Kepala Desa Eri Susrial.
Kondisi ini menimbulkan tanda tanya besar: apakah BUMDes ini dikelola untuk kepentingan desa, atau untuk kepentingan personal kepala desa?
Pasal 87–89 UU Nomor 6 Tahun 2014 secara tegas menegaskan bahwa:
BUMDes adalah badan usaha milik desa, bukan milik kepala desa.
Dikelola dengan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan, bukan dengan sistem sentralisasi kekuasaan.
Hasil usahanya digunakan untuk pengembangan usaha dan kesejahteraan masyarakat, bukan untuk keuntungan individu.
Lebih lanjut, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2021 tentang Badan Usaha Milik Desa mempertegas bahwa:
“Kepala Desa tidak boleh merangkap jabatan sebagai pengurus BUMDes atau mengelola langsung kegiatan usaha BUMDes. Kepala Desa hanya sebagai penasehat”
(Pasal 21 ayat 1 PP No. 11/2021)
Artinya, ketika dana BUMDes tidak sepenuhnya ditransfer ke rekening resmi lembaga, atau kegiatan BUMDes dijalankan di tanah pribadi kepala desa, maka itu bukan hanya pelanggaran etika pemerintahan desa, tapi juga indikasi konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang.
Konsep BUMDes sejatinya dibangun atas prinsip by the village, for the village — dari desa, oleh desa, untuk desa. Namun, ketika Kepala Desa berperan ganda sebagai pengendali dana dan pemilik lahan tempat usaha berjalan, garis batas antara kepentingan publik dan pribadi menjadi kabur.
Lebih ironis lagi, dalam kegiatan bimbingan teknis (Bimtek), peserta yang diberangkatkan bukan pengurus BUMDes, melainkan aparat desa. Hal ini menambah kesan bahwa BUMDes telah berubah menjadi proyek administratif, bukan entitas ekonomi masyarakat.
Kasus ini seharusnya menjadi alarm bagi inspektorat daerah dan dinas pemberdayaan masyarakat desa. Masyarakat berhak tahu ke mana arah dana publik itu mengalir. Sebab, ketika uang desa dikelola tanpa transparansi, BUMDes yang seharusnya menjadi motor ekonomi lokal justru bisa menjelma menjadi alat akumulasi kekuasaan.
Melihat kejanggalan tersebut, masyarakat mendesak inspektorat daerah dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) untuk segera melakukan audit terhadap pengelolaan dana BUMDes desa sumur gedang.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak Pemerintah Desa Sumur Gedang dan Kepala Desa Eri Susrial belum memberikan klarifikasi resmi. Tutupnya (Guh)