Mereka harus bekerja secara independen, menjaga akurasi, berimbang, bertanggung jawab dan menghormati hak-hak narasumber. Wartawan juga tidak boleh mencampurkan fakta dan opini, tanpa diskriminasi, menghindari berita bohong dan fitnah, tidak beritikad buruk, selalu menerapkan azas presumption of innocence (praduga tak bersalah), dan masih banyak lagi lainnya.

Di samping itu, tiap wartawan di Indonesia juga dituntut memiliki kompetensi profesi dan media tempat dia bekerja juga mesti dituntut untuk berbadan hukum dan terverifikasi oleh Dewan Pers.

Batasan Jelas Demi Ruang Publik Demokratis

Keberadaan LSM adalah sebagai bagian dari entitas masyarakat sipil (civilsociety) yang legalitasnya mestilah diakui berdasarkan peraturan perundang-undangan. Sejumlah aturan yang mengatur terkait keberadaan LSM antara lain: UU Nomor 16 Tahun 2021 Tentang Yayasan, UU Nomor 28 Tahun 2004, UU Nomor 17 Tahun 2013, UU Nomor 16 Tahun 2017, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2017, dan peraturan terkait lainnya.

Publik perlu tahu bahwa fungsi utama LSM mencakup sejumlah aktivitas, diantaranya berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat, advokasi kebijakan publik, pengawasan sosial, perlindungan terhadap kelompok rentan, dan pelaksanaan kegiatan sosial berbasis kepentingan umum. LSM punya posisi berpihak secara moral terhadap nilai-nilai atau kelompok tertentu.

Contoh nyata di lapangan dapat dilihat beberapa LSM yang sangat konsen pada isu-isu lingkungan hidup, anti korupsi, perempuan, anak, maupun kelompok marginal. LSM bekerja secara profesional dan bekerja melalui kajian, penggalangan opini publik maupun melalui kegiatan advokasi.

Adanya oknum yang mengaku wartawan padahal bukan wartawan, atau mengaku aktivis LSM padahal tidak sesuaiaturan, merupakan bentuk penyalahgunaan legalitas sipil. Hal ini bisa merusak kepercayaan publik terhadap kedua aktivitas mulia tersebut. Karena itu, masyarakat juga perlu didorong untuk melakukan verifikasi terhadap identitas, legalitas, dan kredibilitas pihak-pihak yang mengklaim dirinya sebagai bagian dari aktivitaspers maupun LSM.

Membedakan keduanya bukan hanya penting secara etik, tetapi juga krusial secara hukum. Ruang publik yang jernih dan bebas dari manipulasi hanya bisa tercapai jika peran-peran sipil dijalankan sesuai dengan porsi dan ketentuan hukumnya. Pada akhirnya, kita harus menyadari bahwa kekuatan sipil bukan terletak pada seberapa keras suara kita menggugat, tetapi seberapa tulus niat kita menjaga kebenaran dan keadilan.

Wartawan dan LSM adalah dua tiang penyangga demokrasi. Bila tiang-tiang ini bengkok karena disalahgunakan, maka bangunan kepercayaan publik pun akan runtuh. Wartawan dan LSM mesti bekerja bukan hanya dengan semangat dan viral, tetapi juga dengan tanggung jawab, disiplin, dan integritas. Karena baik wartawan maupun LSM bukan sekadar pemilik kebebasan berbicara atau bertindak, mereka juga pemikul amanah publik. Amanah harus dijalankan dengan niat lurus, cara yang sah, dan akhlak terjaga. Tutupnya (Guh)