Sebagai seorang mahasiswa yang tumbuh dan hidup di Jambi, saya menyambut baik digelarnya Musrenbang RKPD 2025 oleh Pemerintah Provinsi Jambi. Namun, sebagai bagian dari generasi muda yang terdidik dan berpikir kritis, saya merasa perlu menyampaikan keresahan yang semakin nyata perencanaan pembangunan di daerah ini terlalu sering berhenti di level narasi dipenuhi jargon, tapi minim transformasi nyata di lapangan.

Tema besar RKPD tahun ini “Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif dan Berkelanjutan dalam Rangka Mewujudkan Pertumbuhan Ekonomi Hijau”, memang terdengar megah. Tapi coba kita berfikir sejenak, siapa yang benar-benar memahami dan merasakan dampaknya? Apakah para petani di Merangin atau masyarakat pesisir di Tanjung Jabung sudah merasakan pembangunan yang “inklusif”? Atau hanya segelintir elite birokrasi yang sibuk menyusun slide PowerPoint, sementara ketimpangan tetap menganga?

Gubernur Al Haris mengangkat tiga isu strategis: ketimpangan wilayah dan pendapatan, daya saing daerah, serta resiliensi terhadap bencana dan perubahan iklim. Tapi sayangnya, ini bukan isu baru. Kami sudah mendengar semua ini sejak lama. Pertanyaannya apa yang berbeda tahun ini?

Saya juga mempertanyakan logika pembangunan yang hanya fokus pada angka. Ya, IPM naik jadi 73,73 persen. Ya, angka kemiskinan turun 0,12 persen. Tapi apakah itu berarti kemiskinan struktural telah selesai? Apakah itu berarti anak-anak di pelosok sudah tidak lagi kekurangan gizi atau harus menyeberang sungai demi sekolah?

Kita juga harus kritis terhadap penggunaan istilah “ekonomi hijau.” Di tengah proyek tambang, deforestasi, dan polusi yang terus berlangsung di berbagai wilayah Jambi, wacana pembangunan berkelanjutan seolah jadi kosmetik politik semata. Jargon hijau tidak bisa menutupi fakta bahwa ruang hidup masyarakat adat dan lingkungan kita terus tergerus atas nama pertumbuhan ekonomi.

Rifki Irpandi juga menyampaikan harapannya jika program ini harus berpihak kepada masyarakat dan jangan sampai program ini hanya menjadi kegiatan seremonial saja, dan ini juga harus menjadi catatan bahwa pemerintah harus lebih inklusif untuk melibatkan masyarakat, mahasiswa dalam dialog publik untuk pembangunan Provinsi Jambi Ini agar lebih baik kedepannya.

“Saya tidak menolak pembangunan. Tapi pembangunan harus berpihak, bukan dibungkus dalam program-program top-down yang tidak menyentuh realitas masyarakat. Musrenbang seharusnya bukan sekadar seremoni tahunan, tempat para pejabat berfoto dan memberi sambutan panjang. Ia seharusnya jadi ruang demokrasi substantif, di mana suara petani, buruh, perempuan, mahasiswa, dan kelompok rentan didengar sebagai bagian dari aktor pembangunan,” ujarnya

Jika pemerintah serius dengan semangat “terukur dan memiliki daya ungkit”, maka tolong jangan lagi menyusun RKPD dengan logika pengeluaran anggaran, tetapi mulailah dengan logika kebutuhan rakyat. Kurangi program mercusuar yang menyerap dana besar namun tak berdampak. Tingkatkan transparansi anggaran dan buka akses bagi publik untuk mengawasi pelaksanaan kebijakan. Karena pembangunan yang tidak dikritisi, adalah pembangunan yang bisa menyesatkan.