Oleh: Armando // Kepala departemen sosial dan politik HIMAPOLINDO

Jambi-Terdapat suatu kekuatan yang tumbuh di dalam republik ini. Bukan pemerintah, bukan militer, tetapi entitas yang memiliki pasukannya sendiri, sistem logistiknya, jaringan intelijennya, dan sumber anggarannya hampir tak terbendung: Kepolisian Republik Indonesia. Dalam diam, narasi tentang “negara dalam negara” itu bukan pula hanya semata kiasan, hal tersebut telah menjadi kenyataan pahit yang harus ditelan.

Sebagai institusi yang lahir dari rahim sipil, seharusnya Polri lebih dekat dan akrab dengan denyut nadi masyarakat dibandingkan TNI. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Darah sipil dalam tubuhnya telah berganti menjadi darah birokrasi yang kaku dan represif. Di mana seharusnya mereka menjadi pelindung yang mengayomi, justru yang tampak adalah wajah penindas yang menjaga jarak dengan rakyat.

Kita menyaksikannya dalam perluasan wewenang yang tak pernah usai, bagai tumor ganas yang terus menggerogoti kedaulatan lembaga-lembaga sipil. Lihatlah jalan-jalan kita, ruang publik yang seharusnya dikelola dengan prinsip efisiensi dan pelayanan. Tugas yang semestinya menjadi ranah teknis Dinas Perhubungan mengatur arus lalu lintas, menertibkan angkutan, dan membangun budaya transportasi kini telah direbut dan diubah menjadi “kerajaan kecil” Polantas. Di bawah naungannya, setiap tilang bukan lagi tentang pencerdasan berlalu lintas, melainkan telah berubah menjadi mesin pendanaan yang mengalir deras ke kas “negara” ini. Sementara itu, anggaran yang seharusnya bisa dialihkan untuk pembangunan transportasi yang lebih manusiawi seperti halte yang layak, terminal dan lain-lain ternyata harus terkorbankan untuk membiayai imperium ini.

Lalu, lihatlah perang melawan narkoba, sebuah pertempuran nasional yang seharusnya dilakukan dengan strategi tunggal dan terpadu. Kita sudah memiliki Badan Narkotika Nasional (BNN) yang ditugasi khusus untuk memimpin perang ini. Tetapi “negara” ini merasa perlu memiliki pasukannya sendiri: Satuan Narkoba. Dua lembaga, satu misi yang sama, menghabiskan dua kali lipat anggaran rakyat. Yang terjadi bukanlah sinergi, melainkan tumpang tindih wewenang, perburuan prestasi, dan pemborosan yang masif. Ini bukan lagi tentang penegakan hukum yang berkeadilan, melainkan ekspansi wilayah kekuasaan yang dibungkus narasi patriotisme semu.

Namun, imperium ini tidak berhenti di situ. Ia terus membesar dengan nafsu yang tak pernah puas. Fungsi intelijennya (Baintelkam) tumbuh bak raksasa dalam gelap, menyaingi bahkan mengerdilkan badan intelijen negara (BIN) itu sendiri. Unit sibernya (Dittipidsiber) dengan gegap gempita memasuki ranah yang sebenarnya bisa ditangani oleh lembaga sipil yang lebih transparan, menciptakan lagi-lagi duplikasi dan ketakutan akan pengawasan berlebihan. Dan pasukan Brimob-nya, dengan perlengkapan perang yang tak kalah dari tentara, bagai menjadi tentara pribadi yang siap dikerahkan untuk mengukuhkan hegemoninya.

Setiap perluasan dan tindakan represif ini dibayar tunai dengan uang rakyat, menggerogoti anggaran yang seharusnya menjadi hak pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur publik. Pada 2024, anggaran Polri mencapai Rp 144,1 triliun, sebuah angka fantastis yang justru mengukuhkan kedaulatannya sebagai “negara” yang tak terkendali.

Akar dari semua kesemrawutan ini adalah sebuah ketiadaan yang disengaja: tidak adanya kementerian yang menjadi atasan dan pengawasnya. Tanpa menteri yang bertanggung jawab langsung ke DPR, tanpa mekanisme pengawasan anggaran yang ketat dan transparan, “negara” ini bebas bergerak dalam kegelapan. Ia hanya bertanggung jawab pada dirinya sendiri, pada kode solidaritas korpsnya yang tertutup, dan pada logika perluasan kekuasaannya sendiri yang tak terbendung. Dalam struktur yang sakit ini, Polri bukan lagi pelayan publik, melainkan sebuah entitas otonom yang berjalan di atas relnya sendiri sebuah “negara dalam negara” yang represif dan pro-korporat.

Maka, solusinya haruslah radikal dan berani. Sudah saatnya untuk membubarkan struktur dan mereformasi “negara dalam negara” ini dan merekonstruksi kembali tata kelola baru dari puing-puingnya. Kita perlu membentuk Kementerian Polri dan Keamanan Nasional (Kemenkammas).

Dalam struktur baru ini, fungsi kebijakan, anggaran, dan koordinasi akan dipegang oleh seorang Menteri sipil yang bertanggung jawab penuh kepada DPR dan publik. Polri akan dikembalikan ke tugas utamanya: menangani kriminalitas di lapangan. Tugas-tugas yang tumpang tindih seperti Sat Narkoba akan dipangkas habis. Anggaran akan diawasi dengan ketat dalam mekanisme penganggaran negara yang normal. Koordinasi dengan lembaga lain seperti Dishub dan BNN akan dipaksakan melalui mandat kementerian. Yang terpenting, Polri harus dikembalikan ke khittahnya sebagai institusi sipil yang dekat dengan masyarakat. Pola tindak represif dan pembekingan korporasi harus diakhiri dengan pemutusan mata rantai kooptasi kepentingan, dan memastikan Polri berdiri setara di depan hukum, tidak kebal terhadap pelanggaran HAM.

Ini bukan sekadar percakapan tentang efisiensi, ini adalah usaha untuk mengambil kembali kedaulatan negara yang sebenarnya telah kita izinkan dirompak oleh Polri dalam negara ini. Polri tidak sesuai dengan fakta dan tidak bisa dikendalikan. Perjuangan itu adalah menyadarkan kembali Polri sebagai sahabat masyarakat Indonesia, bukannya penguasa yang menjadikan kita takut. Kedaulatan sejati menuntut kita untuk mereformasi “negara dalam negara” ini sebelum benar-benar terlambat dan kita hanya sanggup menyesal dalam hening. Tutupnya (Guh)