Jambi – Pemadaman listrik yang melumpuhkan aktivitas masyarakat di Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh dalam beberapa hari terakhir menyisakan lebih dari sekadar kegelapan. Di balik padamnya lampu, terhentinya layanan publik, serta kerugian ekonomi yang terus mengalir, muncul satu pertanyaan krusial yang hingga kini belum memperoleh jawaban tegas. apa sebenarnya penyebab robohnya tower listrik di kawasan Muara Emat?

Pihak terkait menyebutkan bahwa penyebab utama insiden tersebut adalah angin kencang yang melanda wilayah itu. Namun, penjelasan ini justru menimbulkan keraguan di tengah masyarakat.

Selama bertahun-tahun, warga yang tinggal di Kerinci dan Sungai Penuh kerap diterpa cuaca ekstrem, namun belum pernah mendengar adanya tower listrik yang tumbang hanya karena hembusan angin.

Bahkan saat angin berhembus sangat kencang, infrastruktur kelistrikan tetap berdiri kokoh. Maka dari itu, masyarakat merasa penjelasan yang diberikan tidak logis dan terkesan ada fakta lain yang sesungguhnya benar-benar terjadi.

Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Provinsi Jambi, Ibnu Kholdun, S.H., M.H., menyampaikan pandangannya. Ia menekankan bahwa PLN selaku pelaku usaha wajib memberikan penjelasan yang benar dan transparan kepada publik.

“Di dalam ketentuan Undang-undang perlindungan konsumen juga dijelaskan bahwa pelaku usaha itu berkewajiban memberikan informasi yang benar, yang jelas tentang suatu keadaan. PLN dalam hal ini harus memberikan informasi yang jelas. Dengan adanya informasi yang jelas maka akan mengurangi atau menghilangkan pikiran yang negatif dari konsumen,” ujarnya saat dikonfirmasi pada Minggu (18/05/2025).

Lebih jauh, Ibnu menilai bahwa pemadaman listrik yang terjadi telah menimbulkan kerugian nyata bagi masyarakat dan oleh karena itu pihak PLN tidak bisa hanya berdiam diri. “Pemadaman listrik ini kan jelas menimbulkan dampak kerugian bagi masyarakat, seharusnya pihak manajemen PLN mengambil langkah penanggulangan,” tegasnya.

Menurutnya, kejadian ini seharusnya dapat dicegah apabila PLN menjalankan fungsi pemeliharaan dan pengawasan dengan baik terhadap aset negara yang mereka kelola. “Seharusnya memang ada pengecekan, mereka punya kewajiban untuk melakukan pemeliharaan. Itukan aset negara,” tambahnya.

Menanggapi dugaan bahwa insiden ini disebabkan oleh bencana alam, Ibnu menjelaskan pentingnya membedakan antara force majeure dan kelalaian. “Kalau bencana, itu namanya keadaan kahar atau force majeure. Itu di luar kemampuan manusia, jadi tidak bisa diminta pertanggungjawaban. Tapi kalau kelalaian bisa diminta pertanggungjawaban,” ujarnya lagi.

Dalam konteks pertanggungjawaban hukum, Ibnu membuka peluang bagi masyarakat yang merasa dirugikan untuk menempuh jalur hukum. Ia menyebutkan bahwa bentuk gugatan kolektif atau class action dapat menjadi salah satu opsi yang sah secara hukum.

“Dikenal dengan gugatan Class Action, gugatan itu adalah gugatan masyarakat yang dirugikan secara kolektif. Gugatan ini lah yang nanti menghitung semua kerugian, kerugiannya per hari berapa, akibat kerusakannya berapa,” jelasnya.

Namun demikian, ia juga menegaskan bahwa langkah hukum secara individual pun tetap dimungkinkan sepanjang kerugian yang dialami benar-benar dapat dibuktikan.

“Secara personal juga bisa untuk menuntut, yang penting kerugian itu memang benar-benar dapat dibuktikan,” tutupnya.

Kini, masyarakat Kerinci dan Sungai Penuh menanti langkah nyata dari PLN, bukan sekadar perbaikan teknis, tetapi juga klarifikasi transparan dan tanggung jawab atas kerugian yang telah terjadi. Lebih dari sekadar memulihkan aliran listrik, kepercayaan publik harus dipulihkan dengan keterbukaan, kejujuran, dan akuntabilitas.