Oleh : Zikri Ramadhan

Jambi-Demokrasi sebagai sistem politik menuntut adanya keseimbangan kekuatan dan keterwakilan yang beragam. Namun, di Indonesia, wajah demokrasi masih didominasi partai-partai yang berorientasi pada kekuasaan dan kepentingan pragmatis, bukan ideologi yang jelas. Kondisi politik hari ini yang penuh carut-marut mulai dari dominasi oligarki, kebijakan yang mengutamakan investor besar, hingga lemahnya keberpihakan negara pada rakyat kecil memperlihatkan absennya satu kutub penting dalam demokrasi: partai kiri. Padahal, kehadiran partai kiri adalah elemen vital dalam mewujudkan demokrasi yang substansial.

Secara umum, paham kiri merujuk pada ideologi politik yang menekankan kesetaraan, keadilan sosial, serta keberpihakan pada rakyat pekerja, petani, buruh, dan kelompok marjinal. Dalam teori politik, kiri berlawanan dengan kanan yang cenderung konservatif dan pro-status quo. Partai kiri adalah partai politik yang berlandaskan ideologi ini memperjuangkan distribusi kekayaan yang lebih adil, menolak dominasi kapitalisme yang merugikan rakyat kecil, serta menekankan demokrasi partisipatif.

Tokoh seperti Karl Marx melihat paham kiri sebagai perjuangan melawan penindasan kelas, sementara Giovanni Sartori menekankan pentingnya spektrum ideologi (kanan–kiri) untuk menjaga keseimbangan demokrasi. Dalam kerangka demokrasi modern, keberadaan partai kiri adalah representasi politik rakyat yang sering kali terpinggirkan oleh kepentingan elite.

Jika kita melihat realitas Indonesia saat ini, hampir seluruh partai politik di parlemen berhaluan tengah-kanan dan lebih condong pada kompromi elit. Akibatnya, kebijakan yang lahir sering kali tidak memihak rakyat kecil. Reforma agraria masih jalan di tempat, buruh sering diposisikan sekadar tenaga kerja murah, dan masyarakat adat kehilangan tanah ulayat akibat proyek-proyek besar.

Robert Dahl dalam teori polyarchy menegaskan bahwa demokrasi sejati hanya tercapai jika semua kelompok sosial mendapat keterwakilan. Tanpa partai kiri, keterwakilan itu timpang, dan demokrasi kita hanya sebatas prosedur elektoral, bukan demokrasi substansial yang membawa keadilan sosial.

Indonesia harus segera membuka ruang politik bagi partai-partai alternatif berbasis ideologi, khususnya kiri. Regulasi pemilu yang saat ini cenderung menguntungkan partai besar perlu direvisi agar partai baru yang berbasis gerakan rakyat bisa ikut berkompetisi secara sehat. Selain itu, perlu ada kesadaran dari masyarakat sipil, serikat buruh, organisasi tani, mahasiswa, dan kelompok lingkungan untuk membangun gerakan politik kiri sebagai kekuatan tandingan oligarki.

Satu solusi konkret adalah mendorong terbentuknya aliansi progresif lintas sektor antara buruh, petani, mahasiswa, aktivis lingkungan, dan masyarakat adat—untuk membangun partai kiri yang benar-benar berakar pada rakyat. Aliansi ini harus menjadi ruang politik yang tidak hanya bertarung di arena pemilu, tetapi juga konsisten memperjuangkan hak-hak rakyat sehari-hari.

“Sebagai mahasiswa Ilmu Politik Universitas Jambi, saya melihat bahwa demokrasi Indonesia tanpa partai kiri ibarat tubuh tanpa jiwa keadilan sosial. Partai-partai yang ada saat ini hanya menjadi perpanjangan tangan oligarki, bukan saluran aspirasi rakyat. Kehadiran partai kiri bukan sekadar pilihan, melainkan keharusan historis dan moral untuk memastikan demokrasi kita tidak berhenti pada prosedur pemilu, tetapi mampu menghadirkan kesejahteraan dan kesetaraan bagi seluruh rakyat” Ujar Zikri dalam realis nya. Tutupnya (Guh)