Frandody, Korwil KPA Jambi menyampaikan petani butuh tanah, bukan Satgas PKH, Petani butuh pupuk bukan senjata, petani butuh diskusi bukan diintimidasi, Cabut izin PT.WKS Laksanakan Reforma Agraria Sejati.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Dewi Kartika menyampaikan beberapa poin kritis terhadap proses pelaksanaan penertiban kawasan hutan oleh Satgas PKH.
Pertama, proses penertiban ini harus memiliki prinsip transparansi. Artinya pemerintah harus membuka data lokasi mana yang akan ditertibkan. Jangan sampai operasi ini justru menyasar lokasi-lokasi masyarakat yang sebelumnya dicaplok oleh klaim kawasan hutan atau HTI korporasi.
Alih-alih menertibkan konsesi-konsesi yang mencaplok kawasan hutan atau tanah-tanah masyarakat;
Kedua, Penertiban Kawasan Hutan ini harus mempertimbangkan historis penguasaan tanah dari masyarakat. Artinya Satgas PKH ini jangan sampai mengabaikan masalah-masalah struktural yang terjadi. Selama ini, banyak penetapan kawasan hutan (domeinverklaring) dilakukan secara sepihak tanpa melihat kenyataan di lapangan sehingga banyak tanah-tanah garapan petani, pemukiman masyarakat dan desa-desa defenitif diklaim sebagai kawasan hutan.
Kebijakan ini harus diarahkan untuk memulihkan hak-hak masyarakat sebab Perpres PKH juga ini juga berbicara tentang reforma agraria. Artinya, ia harus dioperasikan untuk menertibkan klaim kawasan hutan akibat kesalahan kebijakan di masa lalu dan operasi konsesi-konsesi kehutanan yang selama ini mencaplok tanah masyarakat dan memonopoli tanah. Hasil-hasil penertiban tersebut kemudian harus dikembalikan ke masyarakat melalui redistribusi tanah dan reforma agraria.
Ketiga, Satgas PKH ini jangan sampai menjadi modus korporasi yang sudah melanggar selama ini untuk menghindar dari sanksi yang lebih berat. Sebab mengacu pada Perpres ini, sanksinya hanya sebatas sanksi administrasi,” tegas Dewi.
Dewi juga mengingatkan Pemerintah jangan bermain-main menggunakan Satgas untuk menggusur petani. “Patut diduga ada main mata antara Satgas PHK di Jambi dengan perusahaan HTI WKS – Sinar Mas Group, yang selama ini berkonflik puluhan tahun dengan para petani,” tukasnya.
Eksekutif Nasional WALHI juga turut memberikan tanggapan tarkait satgas PKH ini. Teo Reffelsen, Manajer hukum dan pembelaan WALHI Nasional menyoroti setidaknya ada 3 hal, Pertama, Satgas PKH melalui Perpres 5/2025 ini secara hierarkis bertentangan UU 18/2013 dan PP 24/2021 yang mengatur penyelesaian pelanggaran korporasi melalui Penegakan Pidana, Pencabutan Izin, dan Denda Administrasi.
Kedua, Perpres 5/2025 ini tidak mengatur secara tegas bagaimana jika di kawasan hutan tersebut ada hak masyarakat lokal dan masyarakat adat yang seharusnya konfliknya dengan Kawasan Hutan juga diselesaikan melalui mekanisme reforma agraria dan penataan batas yang mengeluarkan tanah-tanah masyarakat dari kawasan hutan.
Ketiga, Perpres 5/2025 ini juga tidak mengatur mengenai audit komprehensif semua perizinan di dalam kawasan hutan, baik itu perkebunan maupun pertambangan. Keempat, informasi terkait dengan penertiban juga tidak dipublikasi secara berkala sehingga publik tidak bisa mengawasi kerja Satgas PKH secara aktif, informasi tersebut penting untuk mencegah masyarakat yang berkonflik dengan kawasan hutan menjadi korban dan digusur. Pungkas Teo.