Himpunan Mahasiswa Kerinci Sungai Penuh (HMKS) Sumatera Barat mengkritisi paradigma “tunggu dan lihat” yang dianut pemerintah daerah. Sementara volume sampah terus bertambah tanpa jeda, kebijakan penanganannya masih tersendat dalam birokrasi yang rumit dan koordinasi lintas sektor yang lemah. Banyak desa dan kelurahan dibiarkan tanpa bekal pengetahuan dan keterampilan untuk mengelola sampah secara mandiri. Padahal, dengan pendampingan yang tepat dan pemberdayaan komunitas lokal, inisiatif pengelolaan sampah berbasis masyarakat bisa menjadi solusi jangka pendek yang efektif sembari menanti infrastruktur skala besar terwujud.

Saat ini, yang dibutuhkan bukanlah tambahan dokumen kajian atau rapat koordinasi, melainkan aksi nyata yang terukur dan konsisten. Pemerintah daerah perlu mengalihkan fokus pada revitalisasi TPS3R yang sudah ada, menciptakan sistem insentif yang menarik bagi desa/kelurahan yang berhasil mengelola sampahnya secara mandiri, dan membentuk gugus tugas lintas pemangku kepentingan yang melibatkan unsur masyarakat, akademisi, dan aktivis lingkungan. Rangkaian tindakan konkret yang berkelanjutan jauh lebih bermakna dari pada menunggu proyek prestisius yang penuh ketidakpastian.

Statistik SIPSN 2022-2023 telah menyuarakan kegentingan, realitas lapangan memperlihatkan urgensi, dan kesabaran masyarakat semakin menipis kini saatnya pemerintah menunjukkan kepemimpinan yang berani dan visioner. Jika tidak, yang kita siapkan bukanlah masa depan berkelanjutan, melainkan warisan bencana ekologis bagi generasi mendatang. Pertanyaan kritisnya: akankah para pemimpin kita dikenang sebagai pelopor perubahan yang menyelamatkan lingkungan, atau sekadar figuran dalam sejarah yang membiarkan krisis sampah mengubur peradaban dan kesejahteraan masyarakatnya?

Sungai Penuh dan Kerinci sesungguhnya memiliki segala modal untuk mengatasi persoalan ini sumber daya manusia yang berpotensi, infrastruktur dasar yang bisa dikembangkan, dan tekanan publik yang bisa menjadi katalis perubahan. Yang masih absen hanyalah determinasi politik dan keberanian mengambil langkah terobosan. Karena sampah tidak pernah bernegosiasi atau memberikan tenggat waktu ia terus bertambah, mengendap, dan mengancam. Maka pertanyaannya sederhana namun menggugah: sampai kapan kita harus menunggu?

Oleh: Hudmi (Mahasiswa ilmu Administrasi Negara UNP)