Netral Karena Tak Punya Pilihan: Diplomasi Kaum Bingung
Oleh: M. Zikri Neva
⸻
Indonesia kerap mengklaim posisinya sebagai negara berdaulat yang memegang prinsip politik luar negeri “bebas aktif.” Namun, dalam percaturan geopolitik Indo-Pasifik yang kian tegang, prinsip itu makin tampak seperti tameng retoris yang menyembunyikan kebingungan dan ketidaksiapan. Netralitas yang dijunjung tinggi seolah bukan karena pilihan strategis, melainkan karena keterpaksaan: Indonesia tak cukup kuat untuk berpihak, dan terlalu lemah untuk menjadi penengah. Inilah diplomasi kaum bingung.
⸻
Di Tengah Arus Indo-Pasifik
Wilayah Indo-Pasifik saat ini menjadi arena kontestasi kekuatan antara Amerika Serikat dan China. Kedua negara ini berlomba membangun pengaruh melalui aliansi keamanan, seperti AUKUS (Australia, UK, US) dan QUAD (AS, Jepang, India, Australia), serta lewat strategi ekonomi seperti Belt and Road Initiative (BRI) oleh China dan Indo-Pacific Economic Framework (IPEF) oleh AS.
Di tengah tarikan kekuatan besar itu, Indonesia memilih berdiri “netral.” Tapi seberapa netral, dan seberapa aktif?
⸻
Ketidaktegasan dalam Sengketa Laut Cina Selatan
Contoh paling gamblang dari diplomasi bingung Indonesia adalah sikapnya terhadap Laut Cina Selatan. Meskipun tidak menjadi pihak pengklaim langsung, Indonesia terdampak secara langsung karena zona ekonomi eksklusif (ZEE) di Natuna Utara kerap dimasuki kapal ikan dan coast guard China.
Dalam laporan Asia Maritime Transparency Initiative (CSIS, 2023), disebutkan bahwa pada tahun 2022 saja, lebih dari 80 insiden pelanggaran zona ekonomi Indonesia oleh kapal China terpantau di Laut Natuna Utara. Namun, pemerintah Indonesia hanya mengeluarkan protes diplomatik yang lemah dan tidak diikuti tindakan hukum internasional atau solidaritas terbuka terhadap negara ASEAN lain yang dirugikan.
Menurut Dr. Evan Laksmana, pakar hubungan internasional dari ISEAS-Yusof Ishak Institute, “Indonesia tidak menunjukkan kepemimpinan yang jelas di kawasan. Posisi netral yang diambil seringkali terlihat seperti kebingungan, bukan kejelasan strategi.” (The Diplomat, 2022)
⸻
Antara Bebas-Aktif dan Pasif-Reaktif
Dalam konteks geopolitik modern, netralitas hanya bisa dihargai jika diiringi dengan kapasitas pertahanan yang kuat, pengaruh diplomatik regional yang solid, dan narasi yang tegas. Sayangnya, Indonesia tidak benar-benar memimpin ASEAN dalam isu Indo-Pasifik, dan juga tidak secara aktif membentuk alternatif aliansi strategis berbasis kawasan.
Dalam laporan Lowy Institute Asia Power Index (2024), Indonesia berada di peringkat 13 dari 26 negara di Asia Pasifik dalam hal pengaruh diplomatik dan militer. Sementara itu, Vietnam dan Filipina justru menunjukkan peningkatan posisi karena kejelasan sikap terhadap China dan keterlibatan aktif dalam aliansi maritim.
⸻
Ekonomi sebagai Penghambat Sikap Tegas
Salah satu faktor yang membuat Indonesia gamang adalah ketergantungan ekonomi terhadap China. Data dari BPS (2024) menunjukkan bahwa lebih dari 20% ekspor Indonesia ditujukan ke China, dan China merupakan mitra dagang utama Indonesia selama hampir satu dekade.