Merespons keresahan publik, Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Kerinci Sungai Penuh Edilan Kurniawan, meminta aparat penegak hukum (APH) segera turun tangan untuk menyelidiki insiden tersebut.
“Simpang siurnya informasi ini terjadi karena minimnya kepercayaan publik terhadap PLN. Jika penjelasan soal robohnya tower SUTT memang logis dan dapat dibuktikan, tentu narasi-narasi negatif tidak akan berkembang,” tegas Edilan, Senin (19/05/2025).
Ia menilai, penyelidikan yang terbuka dan transparan sangat penting untuk mengungkap kebenaran serta memberikan kejelasan kepada masyarakat.
Listrik Gratis Vs Listrik Padam
Sebelum insiden tower roboh, diskursus di masyarakat Kerinci tengah menghangat terkait desakan agar masyarakat lokal mendapat kompensasi dalam bentuk listrik gratis.
Tuntutan ini tidak muncul dalam ruang hampa, tetapi sebagai respons atas keberadaan proyek nasional PLTA KMH yang secara geografis berada di wilayah mereka. Para tokoh masyarakat, akademisi, hingga aktivis mahasiswa bersuara lantang menyuarakan aspirasi yang sama, bahwa masyarakat Kerinci layak mendapatkan manfaat langsung dari proyek yang telah mengubah wajah lingkungan mereka.
Di sisi lain, organisasi mahasiswa seperti HMI Cabang Kerinci-Sungai Penuh justru menempuh jalur yang lebih radikal dengan menyatakan penolakan atas keberadaan PLTA KMH itu sendiri. Mereka menuding proyek ini telah menyebabkan kerusakan lingkungan, termasuk pencemaran sungai dan banjir besar yang terjadi pada awal tahun 2024. Penolakan ini mempertegas bahwa permasalahan yang timbul bukan hanya terkait tarif listrik, tetapi juga menyentuh aspek keadilan ekologis dan partisipasi publik.
Menurut mereka, proyek yang bersifat nasional harus dijalankan dengan keterlibatan masyarakat lokal sejak tahap perencanaan. Kurangnya sosialisasi, transparansi, serta penanganan dampak lingkungan telah membentuk narasi bahwa PLTA KMH tidak berpihak pada kepentingan rakyat Kerinci.
Situasi menjadi lebih kompleks ketika tiba-tiba tower SUTT milik PLN roboh pada 17 Mei 2025. Alasan resmi dari pihak PLN adalah cuaca buruk dan angin kencang. Namun, peristiwa ini justru memperkuat kecurigaan publik bahwa ada kemungkinan sabotase atau manuver tertentu yang berkaitan dengan tensi politik dan sosial di sekitar proyek PLTA.
Kecurigaan ini bukan tanpa alasan. Ketika isu listrik gratis menguat dan tekanan publik meningkat, justru terjadi pemadaman total yang membuat masyarakat kembali terpuruk. Bagi sebagian kalangan, ini bukan kebetulan, melainkan momentum yang terlalu “tepat” untuk dianggap wajar. Ketua HMI, Edilan Kurniawan, bahkan meminta aparat penegak hukum untuk menyelidiki secara terbuka dan menyeluruh peristiwa tersebut. Baginya, simpang siur informasi adalah konsekuensi dari rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi publik, termasuk PLN.
Kisruh antara isu listrik gratis dan insiden pemadaman masif di Kerinci menunjukkan adanya ketegangan struktural antara proyek pembangunan nasional dan aspirasi masyarakat lokal. Di satu sisi, pembangunan PLTA dimaknai sebagai bentuk kemajuan energi nasional berbasis sumber daya terbarukan. Di sisi lain, masyarakat yang terdampak langsung merasa tidak diikutsertakan dan tidak memperoleh manfaat yang setimpal.