Aksi Panik Mencegah Borok Terkuak
Melihat seruan boikot Trans7 yang menggema ini, saya hanya bisa menarik kesimpulan tunggal: ini adalah aksi panik dari mereka yang takut kegelapan di belakang tirai terkuak total.
Reaksi ini, yang mengalihkan fokus dari introspeksi ke intimidasi media, adalah sandiwara pertahanan diri yang sungguh memuakkan.
Mari kita bongkar. Isu ini bukan soal Trans7 yang kurang riset, tapi soal kadar toleransi kita terhadap kebobrokan. Apa yang diangkat oleh media walau mungkin dangkal adalah fragmen kecil dari realitas yang jauh lebih brutal. Kita bicara tentang praktik yang bukan sekadar ‘di luar kaidah’, tapi sudah masuk kategori kriminalitas keji di tempat yang seharusnya suci.
Selama ini, berapa banyak kasus yang kita dengar? Oknum yang seharusnya jadi panutan malah jadi predator di tengah asrama. Kita lihat pemerkosaan, penganiayaan brutal, dan eksploitasi berkedok khidmat atau pengabdian. Semua ini terjadi di bawah payung lembaga yang dihormati, lalu diselesaikan dengan cara kekeluargaan palsu yang tujuannya hanya satu: menyelamatkan reputasi institusi dan oknum, bukan menyelamatkan korban.
Ketika realitas ini disorot, reaksi yang paling mudah adalah berteriak difitnah. Menciptakan drama boikot adalah upaya kolektif untuk menyatakan: “Kami anti-kritik, dan kami akan melawan siapapun yang berani menyinggung aset suci kami.”
Ini adalah pengecut.
Pesantren sebagai benteng moral tidak akan pernah runtuh oleh sorotan kamera, tapi akan busuk dari dalam jika menolak membersihkan nanah yang sudah menginfeksi.
Jika energi itu disalurkan untuk membuat sistem akuntabilitas yang transparan—yang menjamin tidak ada lagi oknum yang kebal hukum hanya karena memakai jubah—maka boikot tidak akan pernah diperlukan. Marwah itu dibangun dengan integritas, bukan dengan hashtag di media sosial.
Jadikan kritik ini momentum, bukan musuh. Saya percaya penuh pada potensi besar pesantren sebagai pencetak karakter dan ulama masa depan bangsa. Harapan kita sangat besar: agar pesantren kembali menjadi ‘Rumah Ilmu’ yang sejati, tempat yang paling aman bagi setiap anak untuk menuntut ilmu, bebas dari rasa takut dan praktik-praktik feodal yang merusak.
Maka, hentikan drama boikot ini! Fokuslah pada sel tahanan untuk oknum bejat, bukan pada rating stasiun televisi. Ambil pisau bedah, bersihkan kebusukan, dan tunjukkan pada dunia bahwa pesantren sejati adalah lembaga yang berani berbenah dan mengamalkan keadilan sejati.
Itulah satu-satunya jalan untuk mendapatkan kembali kehormatan yang hilang. Introspeksi atau punah. Pilihannya sesederhana itu. Tutupnya (Guh)