Sungai penuh – 1 Mei sebagai peringatan hari buruh internasional bukan hanya rutinitas tahunan, melainkan pengingat atas sejarah panjang perjuangan kelas pekerja proletariat yang sejak abad ke-19 telah menuntut hak-hak buruh dalam sistem yang menindas. Sejak saat itu, perjuangan buruh menjadi cikal bakal perlawanan terhadap sistem kapitalisme yang menghisap tenaga tanpa memberi perlindungan yang setara.

 

Namun apakah perjuangan itu telah selesai? Jawabannya: belum. Proletariat hari ini masih menghadapi bentuk penindasan yang lebih elegan tapi dengan cara yang sistemik.

 

Kita perlu lebih dari sekadar simbolis dalam memperingati perjuangan buruh. Perjuangan proletariat hari ini bukan hanya menghadapi kekuatan ekonomi, tapi juga sistem politik yang belum sepenuhnya berpihak.

 

Moment ini menjadi refleksi untuk membuka mata terhadap realitas sosial yang tak kunjung berubah, bahkan mungkin memburuk. Proletariat hari ini bukan hanya mereka yang memeras keringat di pabrik, tapi juga mereka yang bekerja sepanjang hari untuk bertahan hidup. Di tengah modernisasi, bentuk penindasan berubah, tapi esensinya masih sama.

 

Hanya untuk mengucap Selamat hari buruh saja kita masih merasa pilu, karena tidak ada buruh yang benar-benar selamat dalam belenggu kapitalisme.

 

Justru hal ini menjadi pengingat bahwa perjuangan buruh adalah perjuangan semua orang karena siapa pun yang menjual tenaga dan waktunya demi hidup, adalah bagian dari kelas pekerja. Selama ketimpangan, ketidakpastian, dan ketidakadilan masih terjadi, maka perjuangan proletariat belum selesai.

 

Perjuangan proletar hari ini tak hanya soal upah atau jam kerja, tetapi tentang hak untuk hidup layak di tengah sistem yang membuat si kaya makin kaya, dan si miskin dipaksa bekerja lebih keras untuk sekadar bertahan.

 

Kesenjangan sosial dan ekonomi hari ini bukan kebetulan. Ia adalah konsekuensi langsung dari sistem yang bertumpu pada akumulasi modal, bukan kesejahteraan manusia.

 

Sejarah mencatat, proletariat tak pernah benar-benar diam. Perlawanan lahir dari kesadaran. Buruh kembali membangun solidaritas, menuntut sistem yang adil, distribusi kekayaan, dan pengakuan terhadap kerja-kerja informal. Perjuangan melawan kesenjangan bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga tentang martabat manusia.. Perjuangan ini bukan nostalgia, melainkan kelanjutan dari narasi panjang melawan eksploitasi yang kini mengambil wajah-wajah baru.

 

Sejak revolusi industri, kapitalisme telah menciptakan dunia yang penuh kemajuan, tetapi dibangun di atas penderitaan kelas pekerja. Kapitalisme hanya mengenal keuntungan, keuntungan, dan keuntungan.

 

Dalam sistem ini, manusia bukan subjek utama, melainkan komoditas tenaga yang diperjualbelikan, waktu yang diukur, bahkan hidup yang ditakar.

 

Kapitalisme hari ini bahkan lebih licik dari masa lalu Ia mengenakan wajah modern, tetapi tetap memeras dengan cara lama Inilah wajah baru kapitalisme: sistem yang menjanjikan kebebasan, tetapi justru memperbudak dalam diam. Ia menciptakan ilusi pilihan, padahal pilihan itu dikunci oleh kebutuhan hidup.