Di sektor infrastruktur, wajah kegagalan terlihat jelas. Islamic Center yang molor, stadion olahraga yang terbengkalai, ruang terbuka hijau yang mangkrak. Semua menjadi monumen ketidaktegasan, bukan keberhasilan. Banyak dari proyek ini diumumkan dengan penuh gembar-gembor, tapi tidak dikawal sampai selesai. Dalam tradisi kepemimpinan yang sehat, proyek bukan soal seremoni tapi soal tanggung jawab.

Satu ironi lain yang tak bisa diabaikan adalah soal jalan khusus batu bara. Proyek ini dijanjikan sejak 2022 untuk mengurai kemacetan, mengurangi kerusakan jalan umum, dan memperbaiki tata kelola tambang. Namun sampai 2024, jalan ini tak kunjung rampung. Bahkan beberapa investor yang diberi izin membangun justru tak menunjukkan progres yang signifikan. Dalam beberapa forum, Gubernur terlihat hanya meminta agar pengusaha “lebih serius.” Tapi pertanyaannya: di mana otoritas seorang kepala daerah jika hanya bisa “meminta” tanpa bisa memaksa?

Gubernur bukan juru bicara investor. Jika investor tak mampu, maka sudah seharusnya izinnya dicabut, dan komitmennya dievaluasi. Ketika posisi eksekutif terlalu lunak terhadap modal, rakyat pantas bertanya: jabatan itu sedang digunakan untuk memimpin atau untuk menjaga hubungan dagang politik?

Di bidang pendidikan, cerita tak kalah menyedihkan. Sekolah-sekolah di pedalaman masih kekurangan guru, fasilitas rusak, dan anak-anak harus menempuh jarak jauh untuk belajar. Janji tentang pendidikan gratis dan bermutu seakan hanya jadi spanduk tanpa realisasi di akar rumput.

Lalu bagaimana dengan janji-janji lainnya? TPA Sungai Penuh tak kunjung selesai, penanganan banjir yang belum efektif, dan program UMKM yang tak menyentuh banyak warga. Semua ini dulu adalah komitmen kampanye. Kini, hanya menjadi jejak suara yang tertinggal di baliho.

Memang, kita tidak sedang menuduh Al Haris korup atau jahat. Tapi jabatan publik tidak perlu menunggu niat buruk untuk layak dikritik. Ketika pemimpin tak mampu menyelesaikan masalah pokok, membiarkan pelayanan publik memburuk, dan terlalu kompromi terhadap kepentingan elit itu adalah kegagalan memimpin.

Jambi butuh seorang pemimpin, bukan dealer yang lihai membagi-bagi proyek, menjaga relasi dengan investor, atau memainkan posisi untuk bertahan di kekuasaan. Rakyat tak sedang mencari penyelamat yang sempurna tapi butuh pemimpin yang hadir, tegas, dan berpihak.

Dan hari ini, rakyat Jambi bertanya, dengan suara yang makin lantang:

Apakah Gubernurnya sedang mengemban amanah atau sedang mengelola transaksi?. Tutupnya (Guh)