Di tengah maraknya live TikTok, ledakan konten digital, dan tumbuhnya aktivisme di ruang maya, media massa konvensional menghadapi pertanyaan besar: masihkah ia relevan dan dipercaya?

Jika dulu media menjadi satu-satunya pengendali wacana, kini ruang itu sedang direbut publik sendiri. Siapa pun bisa live, menyampaikan pendapat, bahkan membongkar ketimpangan sosial hanya dari ponsel di genggaman tangan.

Tren ini tak bisa diremehkan. Tak juga mesti langsung di pandang secara negatif. Menurut data We Are Social pada awal tahun 2025, jumlah pengguna internet Indonesia diprediksi mencapai 212 juta dari total populasi 285 juta jiwa. Terjadi peningkatan jumlah sebesar 8,7 persen dari periode yang sama pada tahun lalu.

Berdasarkan proyeksi We Are Social, dari banyak platform media sosial, jumlah pengguna Tiktok di Indonesia diperkirakan mencapai 100 juta pengguna aktif bulanan. Mayoritas penggunapada rentang usia 18-35 tahun.

Beberapa faktor kunci berkontribusi pada pertumbuhan pesat TikTok di Indonesia, salah satunya adalah penetrasi internet dan smartphone yang semakin luas. Faktor lainnya adalah popularitas fitur-fitur interaktif seperti live streaming, duet, dan tantangan, yang mendorong partisipasi pengguna dan menciptakan komunitas yang aktif. Selain itu, kemudahan dalam pembuatan konten video pendek dan tersedianya berbagai filter dan efek pun menjadi daya tarik tersendiri.

Belakangan fitur live streaming bukan lagi sekadar hiburan, tapi telah berevolusi menjadi medium ekspresi, advokasi, bahkan jurnalisme warga. Banyak aktivis, mahasiswa, hingga ibu rumah tangga kini rutin berdiskusi soal politik, pendidikan, atau HAM lewat media sosial. Demokratisasi informasi benar-benar terjadi, tapi juga membawa tantangan serius bagi media arus utama.

Meningkatnya kebebasan berekspresi di media sosial adalah kabar baik bagi demokrasi, namun bisa menjadi kabar buruk jikatak diimbangi dengan literasi digital. Konten viral lebih banyak menarik atensi publik. Di sinilah media massa harus hadir: bukan sebagai pesaing, tetapi sebagai penyeimbang dan penjaga akurasi informasi.

Jurnalisme Tak Akan Mati, Jika Ia Tetap Bernyawa

Walaupun kini terdapat sejumlah media massa konvensional yang masih punya nama besar, tetap dipercaya dan menjadi rujukan, secara umum media massa konvensional tidak bisa lagi hanya mengandalkan sejarah dan nama besar semata. Ia harus kembali menjadi jurnalisme yang bernyawa: berpihak pada publik, akurat dalam menyampaikan fakta, dan konsisten dalam menjaga etika.

Di tengah banjir informasi, masyarakat membutuhkan rambu yang hadir dari berbagai sajian informasi, bersumber dari karya jurnalistik yang berkualitas.

Prinsip jurnalisme konstruktif yang tak hanya mengungkap masalah tapi juga memberi konteks dan solusi harus dihidupkan. Fakta tidak cukup; fakta perlu dijelaskan, dipertanyakan, dan diberi makna. Itulah nilai tambah media dibanding konten live streaming di media sosial yang serba spontan dan kadang tanpa filter etika.

Media juga perlu selalu menjaga hubungannya dengan publik. Jangan hanya memposisikan pembaca sebagai konsumen pasif. Libatkan mereka dalam proses jurnalisme. Dengarkan keluhannya, jawab komentarnya, buka kanal interaksi langsung. Jurnalisme komunitas bukan sekadar tren, tapi kebutuhan zaman.

Aktivisme digital yang berkembang pesat, termasuk lewat petisi online, live streaming, dan diskusi terbuka di ruang publik ritual menunjukkan bahwa masyarakat rindu pada media yang mau mendengar, bukan hanya memberitahu. Mengintegrasikan aspirasi digital ke dalam ruang redaksi adalah langkah pentinguntuk menjaga relevansi.

Tentu media tidak harus mengejar viralitas dengan ikut joget di TikTok. Tapi media bisa memanfaatkan platform itu dengan gaya sendiri: menyampaikan berita dalam format yang khas, visual, tapi tetap jurnalis. Adaptasi bukan berarti mengorbankan integritas.

Model bisnis pun harus disesuaikan. Di tengah dominasi iklan digital oleh raksasa seperti Google dan Meta, media perlu berinovasi: dari model langganan, donasi pembaca, kolaborasi jurnalisme publik, hingga cara kreatif lain. Yang penting, jangan menjual kepercayaan hanya demi klik.

Media sosial memberi ruang ekspresi, tapi media massa seharusnya memberi arah. Jika media konvensional mampu merespons tren live TikTok, memahami semangat kebebasan berekspresi, dan bersinergi dengan aktivisme digital, maka ia tidak akan tergilas zaman.

Kepercayaan memang tidak diwariskan. Ia harus diperjuangkan dengan ketekunan, kejujuran, dan kehadiran yang konsisten. Ketika suara rakyat membanjiri ruang digital, jurnalisme bernyawa tak hanya mencatat, tapi turut berdiri dan bersuara untuk yang tak terdengar.

Dan itulah pekerjaan rumah besar bagi media massa hari ini.

*) Penulis adalah Dosen UIN STS Jambi dan mantan jurnalis. Di samping beraktivitas sebagai akademisi, juga menjadi Ahli Pers Dewan Pers dan aktif dalam berbagai kegiatan yang berhubungan dengan jurnalistik. Kini tinggal di Jambi.