Jika kita bicara dalam kerangka teori kebijakan publik kontemporer, maka transisi ini gagal memenuhi prinsip-prinsip evidence-based policy. ProJambi tidak lahir dari proses perumusan yang transparan, tidak berbasis data evaluatif, dan tidak melibatkan pemangku kepentingan utama, yaitu masyarakat sipil. Perubahan kebijakan seperti ini justru mencerminkan kecenderungan policy symbolism kebijakan digunakan sebagai alat legitimasi politik, bukan sebagai alat transformasi sosial. Dengan kata lain, ProJambi hadir sebagai baju baru untuk tubuh yang sama ringkihnya.

Akhirnya, publik Jambi pantas curiga. Ketika satu program diganti dengan program lain tanpa alasan yang jelas dan tanpa evaluasi terbuka, maka itu bukan reformasi, melainkan kamuflase. ProJambi mungkin terdengar segar, tetapi jika ia hanya berdiri di atas reruntuhan Dumisake yang belum dibereskan, maka ia akan menjadi menara gading yang rapuh. Nama boleh berganti, baliho boleh dicetak ulang, tetapi jika orientasi kebijakan masih elitis dan prosedurnya tertutup, maka rakyat tetap menjadi penonton dari panggung pembangunan yang terus dipenuhi drama—dengan anggaran besar tapi dampak yang kecil. (Guh)