Belakangan ini, dunia TikTok tak hanya dipenuhi tarian dan hiburan semata. Di Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh, sejumlah aktivis mulai memanfaatkan fitur live streaming di platform tersebut untuk membahas isu-isu strategis daerah.

Persoalan sampah, rencana pemekaran Kerinci Hilir, listrik gratis dari PLTA dan PLN, hingga pemadaman listrik berkepanjangan menjadi topik hangat yang diangkat dalam siaran langsung mereka.

Salah satu tokoh di balik tren ini adalah Fesdiamon, mantan aktivis mahasiswa yang dikenal publik pada eranya. Ia menceritakan awal mula ketertarikannya terhadap platform TikTok.

“Ketika itu saya kesulitan mencari anak muda yang mau diajak diskusi politik. Warung kopi sepi milenial. Tapi begitu saya buka TikTok, ternyata mereka semua di sana, live streaming. Dari situ saya mulai tertarik,” ungkap Fesdiamon.

Ia pun melihat potensi besar TikTok sebagai sarana diskusi publik. “Saya mulai mengundang pejabat, tokoh masyarakat, hingga mahasiswa ke live saya. Kita bahas isu-isu lokal. Ternyata responsnya luar biasa. Hampir tiap malam saya live sekarang,” tambahnya.

Fenomena ini tidak hanya memengaruhi dinamika advokasi digital, tapi juga menggugah media arus utama. Kini, sejumlah media online dan konvensional mulai ikut melakukan live TikTok untuk menyampaikan informasi secara real-time. Namun demikian, muncul pertanyaan: apakah media pers bisa dan harus ikut dalam tren ini?

Menurut akademisi sekaligus Ahli Pers Dewan Pers Heri N Posmo, fenomena ini mencerminkan pergeseran besar dalam cara publik mengakses dan memproduksi informasi.

“Live streaming kini bukan sekadar hiburan. Ia telah berkembang menjadi medium advokasi dan jurnalisme warga. Demokratisasi informasi tengah berlangsung, tapi tanpa literasi digital yang memadai, bisa menjadi bumerang,” ujar Heri.

Ia menegaskan, kehadiran media massa tetap penting sebagai penyeimbang.

“Media sosial memang membuka ruang ekspresi, tapi media massa harus memberi arah. Media tak boleh hanya mengejar viralitas, tapi harus menjaga akurasi dan etika. Fakta saja tidak cukup, fakta harus dijelaskan, diberi konteks, dan dimaknai.”

Heri juga mendorong media untuk lebih melibatkan publik, bukan hanya sebagai konsumen pasif.

“Jurnalisme komunitas harus dihidupkan. Media perlu mendengar keluhan masyarakat, menjawab komentar, dan membuka ruang interaksi. Ini bukan tren sesaat, melainkan tuntutan zaman.”

Live TikTok para aktivis menunjukkan bahwa ruang digital bisa menjadi arena penting bagi advokasi dan partisipasi masyarakat. Namun agar tidak menjadi liar, kehadiran media sebagai pengawal informasi yang benar dan berimbang tetap krusial.

Jika media konvensional mampu bersinergi dengan semangat digital ini, mereka tidak hanya akan bertahan tapi juga tetap relevan di tengah derasnya arus informasi.(Guh)