Dahulu, di suatu masa, mungkin gaya seperti ini dianggap sensasional atau bahkan arogan, justru kini dianggap publik autentik, menyentuh, bahkan inspiratif. Apa yang berubah? Jawabnya tentu adalah persepsi publik.
Dalam perspektif sosiologis, fenomena ini dapat dijelaskan dengan konsepdramaturgi. Kehidupan sosial, termasuk politik, adalah panggung besar. Para aktordalam hal ini pejabat dan politisitampil di depan publik dengan naskah tertentu, kostum tertentu, dan ekspresi tertentu. Media sosial menjadi tirai panggung yang selalu terbuka. Tak ada lagi ruang belakang. Semua yang dilakukan, sekecil apa pun, bisa terekam, dibagikan, dan ditafsirkan.
Sementara itu, melalui teori dramatisme menjelaskan bahwa komunikasi manusia bersifat dramatik. Dalam setiap aksi politik, ada pelaku, ada tempat, ada alat, dan ada tujuan. Seorang pemimpin yang menegur warga sambil direkam kamera, misalnya, bukanlah peristiwa netral. Itu adalah “aksi dramatik” yang mengandung pesan, simbol, dan nilai tertentu yang ingin disampaikan kepada audiens luas.
Dalam dunia di mana algoritma media sosial menentukan apa yang muncul di linimasa kita, konten yang menyentuh emosi akan selalu menang. Maka, gaya kepemimpinan yang emosionalyang bisa membuat kita marah, tersentuh, atau tertawamenjadi lebih efektif daripada yang sekadar rasional.
Apakah ini baik? Belum tentu. Apakah ini buruk? Tidak juga secara otomatis. Yang jelas, kita memasuki era baru dalam relasi antara pemimpin dan publik: era di mana persepsi dibentuk tidak hanya oleh apa yang dilakukan, tetapi juga oleh bagaimana aksi itu dikemas dan disampaikan.
Sebagai publik, kita pun perlu terus bertumbuh dalam literasi media. Kita perlu belajar membedakan mana aksi nyata dan mana sekadar panggung. Kita perlu berani menilai bukan hanya dari kemasan, tapi dari keberlanjutan dampak yang ditinggalkan.
Karena pada akhirnya, politik bukan sekadar konten. Kehidupan rakyat bukan sekadar tontonan. Kita boleh tersentuh oleh drama, tapi jangan sampai terperdaya olehnya. Opini publik memang seperti cermin yang terus bergerak. Tapi cermin yang sehat adalah yang tetap jernih, yang bisa memantulkan kebenaran, bukan hanya keindahan yang dibuat-buat. (Guh)