Oleh: Armando staf agitasi propaganda Himpunan mahasiswa ilmu politik Indonesia
Fakta kini tak terbantahkan Hasto Kristiyanto bebas melalui amnesti, Thomas Lembong terbebas oleh abolisi. Kita juga dapat melihat bahwa ini bukan sekadar pengabaian hukum. Kedua kasus ini menegaskan dugaan lama masyarakat bahwa mereka merupakan tahanan politik yang terjebak dalam ketegangan tanpa suara.
Proses pengadilan terhadap kedua tokoh tersebut merupakan salah satu contoh lain pengadilan di bayang-bayang politik yang sangat memuakkan. Hasto, dengan segala kontroversinya, hanya menjadi tumbal kekuatan antara ketegangan PDIP dan oposisi yang sedang menguatkan. Pada saat yang sama Tom Lembong, ketika berbicara begitu keras terhadap kebijakan pemerintah dan terlalu akrab dengan oposisi pemerintah, segera menemukan pintu buntu di meja keadilan. Publik memahami bahwa bukan masalah tentang benar dan salah, tetapi tentang siapa yang berani berenang melawan arus.
Kini pembebasan mereka justru menguatkan narasi itu. Amnesti dan abolisi datang bukan karena keadilan tiba-tiba bersinar, tapi karena kalkulasi politik telah berubah. Hasto dibebaskan ketika PDIP mulai menunjukkan taring oposisinya. Tom Lembong menemukan jalan keluar ketika suara kritisnya tidak lagi menjadi ancaman, atau justru ketika kekuatan politik baru membutuhkan dukungannya.
Satu hal yang mejengkelkan, sistem peradilan kita dengan mudah menjadi alat untuk permainan ini. Penahanan yang semula digembar-gemborkan sebagai penegakan hukum, ternyata hanya sandiwara. Tuduhan-tuduhan yang dulu digaungkan sebagai pelanggaran serius, kini menguap begitu saja. Terus apa artinya semua proses hukum yang telah berjalan selama ini? Tak lebih dari sekadar ancaman untuk membuat para elite patuh pada garis politik yang sudah ditentukan.
Pembebasan mereka berdua adalah bentuk pengakuan terselubung bahwasanya Indonesia masih mempraktikkan hukum rimba politik: yang kuat bertahan, yang lemah tersingkir. Dan rakyat bisa apa? Mereka hanya bisa menyaksikan bagaimana hukum bisa begitu fleksibel bagi penguasa, tapi begitu kaku bagi rakyat kecil.
Kita sedang menyaksikan sebuah pola klasik yang terus berulang menjelang pemilu. Apa yang seharusnya menjadi pedoman keadilan kini telah berubah menjadi alat politik yang serbaguna. Bagi yang berseberangan dengan kekuasaan, tiba-tiba bermunculan kasus hukum. Ketika peta politik berubah dan koalisi perlu dibentuk, tiba-tiba kasus itu menguap bagai kabut pagi.
Yang patut dicermati adalah timing pembebasan ini. Di tengah persiapan menuju Pemilu 2029, pemberian amnesti dan abolisi ini bisa dibaca sebagai langkah strategis. Apakah ini upaya rekonsiliasi politik yang tulus, atau sekadar cara untuk menetralisir potensi ancaman dan membangun koalisi?
Kini ketika kedua tokoh itu sudah bebas, kita harus bertanya: berapa banyak lagi “tahanan politik” seperti mereka yang masih terpenjara? Berapa banyak proses hukum yang sebenarnya hanya kedok untuk membungkam suara kritis? Dan sampai kapan kita akan membiarkan hukum menjadi senjata makan tuan dalam percaturan politik?