Herri Novealdi

Ahli Dewan Pers

Jambi- Opini publik seolah tak pernah benar-benar diam. Seperti air, terus mengalir mengikuti tren zaman, berbagai nilai, dan emosi kolektif yang sedang jamak terjadi. Dulu sangat diagungkan, tapi belakangan dianggap basi. Hal yang dulu dicaci, kini malah di puja-puji. Fenomena ini sungguh jelas bila terlihat dalam cara masyarakat menilai gaya kepemimpinan para pejabat, politisi, ataupun tokoh masyarakat.

Setiap zaman memang melahirkan seleranya sendiri. Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), publik bersentuhan dengan model kepemimpinan yang jenaka, penuh paradoks, dan tak jarang membuat elite politik kebingungan. Gus Dur tidak tampil dengan gaya formal yang kaku, melainkan dengan laku yang memancing debat dan tawa sekaligus. Ia tidak takut tampak nyeleneh karena percaya pada isi, bukan kulit.

Megawati setelahnya tampil dengan gaya kepemimpinan yang lebih tenang dan sederhana. Dia tak banyak bicara, bahkan sering dinilai kurang komunikatif. Tapi justru dari gaya diamnya itu, publik melihat simbol keteguhan dan konsistensi. Ia bukan panggung besar, tapi fondasi yang senyap.

Lalu datang Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan gaya kepemimpinan yang retoris dan elegan. Ia sering tampil dalam pidato resmi yang terstruktur dan diplomatis. Di era ini, komunikasi publik kembali ke panggung kata, pada narasi-narasi panjang yang menenangkan. Narasi menjadi kekuatan. Wibawa dibangun dari cara merangkai kata dan menjaga jarak.

Semua berubah ketika Joko Widodo (Jokowi) terpilih sebagai Presiden. Ia membawa gaya “blusukan” ke level tertinggi pemerintahan. Tidak banyak retorika, tapi banyak visual. Ia hadir langsung ke gang-gang sempit, ke pasar tradisional, dan ke proyek-proyek infrastruktur. Kamera-kamera ponsel menangkap gaya pemimpin yang berkeringat bersama rakyat. Gaya baru: wibawa dibangun dari kehadiran langsung, bukan sekadar kata-kata.

Kini giliran Prabowo Subianto tengah naik ke panggung utama. Setelah puluhan tahun dikenal dengan gaya militeristik dan tegas, kini dia tampil lebih hangat, kadang jenaka, kadang menyentuh. Di media sosial, dia lebih sering muncul dengan nada santai, bahkan berseloroh soal makanan dan lainnya. Gaya kepemimpinan pun terus bertransformasi, dari keras menjadi luwes, dari elitis menjadi populis.

Gaya Penuh Drama dan Teatrikal

Ternyata perubahan gaya kepemimpinan memang belum selesai. Seperti cermin yang terus bergerak. Belakanganjustru makin ramai bentuk baru yang penuh drama dan lebih teatrikal. Pemimpin tidak hanya hadir dan bekerja, tapi juga tampil ke publik dengan konten yang bercerita dan dipertontonkan.

Kang Dedi Mulyadi (KDM), Gubernur Jawa Barat, juga menjadi contoh paling tampak dari transformasi ini. Dia hadir dan tampil ke publik terlihat dengan kesan bukan hanya sebagai seorang politisi, tapi juga seolah seperti seorang aktor di tengah panggung kehidupan rakyat kecil.

Isi kontennya saat menegur warga, menolong orang miskin, memperbaiki rumah reot, ataupun membagikan uang tunai, mengundang viral dengan jutaan penonton. Ada drama, ada konflik, ada air mata dan di atas semua itu, tentunya ada perhatian publik.