Dumisake Ditutup, ProJambi Dibuka: Ganti Nama, Ganti Citra, Masalah Tetap Sama?
Ahmad Fadillah Zurdi
Mahasiswa Fakultas Hukum UNJA
Peralihan dari program Dumisake (Dua Miliar Satu Kecamatan) ke ProJambi di Provinsi Jambi seakan menjadi ritual rutin dalam politik lokal: ketika sebuah program tidak berjalan optimal, solusinya bukanlah evaluasi mendalam, melainkan menggantinya dengan nama baru. Alih-alih memperbaiki kelemahan struktural yang menjadi sumber kegagalan Dumisake, pemerintah Provinsi Jambi justru memilih strategi kosmetik yang terkesan lebih mementingkan pencitraan ketimbang penyelesaian masalah substantif.
Dumisake, sejak diluncurkan pada awal masa jabatan Gubernur Al Haris pada 2021, membawa semangat pembangunan berbasis kecamatan dengan janji dua miliar rupiah per kecamatan per tahun. Janji ini digadang-gadang sebagai solusi cepat tanggap atas ketimpangan pembangunan wilayah. Namun dalam praktiknya, realisasi anggaran program ini jauh dari harapan. Pada 2022, dari total Rp205 miliar yang dialokasikan melalui 34 OPD, hingga pertengahan tahun hanya terealisasi Rp17 miliar. Hal ini tidak hanya mencerminkan kegagalan administratif, tetapi juga menunjukkan lemahnya perencanaan dan koordinasi lintas sektor. Ironisnya, bukannya memperbaiki tata kelola yang buruk ini, pemerintah justru mengubur program tersebut dalam diam, lalu mengangkat ProJambi sebagai wajah baru pembangunan daerah.
ProJambi kemudian diluncurkan pada 2025 sebagai program “quick wins” dengan lima pilar yang tampak ambisius: ProJambi Cerdas, Sehat, Tangguh, Responsif, dan Agamis. Di atas kertas, program ini tampak komprehensif. Tapi substansi dari tiap pilar ini masih kabur, dan yang lebih mengkhawatirkan, belum ada laporan evaluatif yang menunjukkan bagaimana kegagalan Dumisake dijadikan pelajaran konkret dalam perumusan ProJambi. Padahal, menurut William N. Dunn dalam Public Policy Analysis, salah satu elemen penting dalam siklus kebijakan adalah evaluasi sistematis untuk mencegah kebijakan baru mengulang kesalahan yang sama. Namun dalam konteks Jambi, tahapan ini seolah diloncati.
ProJambi lebih mirip simbol peremajaan politik menjelang Pilkada ketimbang kebijakan publik yang berbasis pada kebutuhan riil masyarakat. Ini dapat dibaca melalui lensa teori Kingdon (1995) tentang Multiple Streams Framework, di mana perubahan kebijakan seharusnya muncul dari pertemuan antara arus masalah, arus kebijakan, dan arus politik. Yang terjadi di Jambi hanyalah dominasi arus politik, sedangkan arus masalah dan kebijakan seakan tidak pernah benar-benar dipertimbangkan. Masalah-masalah dasar seperti minimnya partisipasi publik, ketidakterpaduan data, hingga lemahnya kapasitas birokrasi tidak disentuh.
Lebih dari itu, perubahan dari Dumisake ke ProJambi mencerminkan absennya akuntabilitas. Tidak ada laporan resmi yang membedah mengapa Dumisake gagal; tidak ada audit independen yang dapat memastikan bahwa uang rakyat yang digelontorkan sejak 2021 telah digunakan secara efisien dan berdampak. Yang ada hanya narasi permukaan yang mengklaim “penyesuaian strategi”, padahal fakta-fakta lapangan menunjukkan bahwa persoalan terletak pada hal-hal mendasar: miskinnya perencanaan teknokratis, buruknya pelaksanaan anggaran, dan rendahnya kapasitas OPD.